Juknis Sertifikasi Guru Honorer 2025: Kebijakan Setengah Hati yang Masih Mendiskriminasiš
Pemerintah menerbitkan petunjuk teknis (juknis) terkait tunjangan sertifikasi guru honorer tahun 2025.
Regulasi ini dituangkan dalam Persesjen Kemendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025.
Di atas kertas, kebijakan ini tampak seperti bentuk atensi pemerintah terhadap guru honorer.
Kenyataannya, jika dicermati lebih dalam, juknis ini justru mempertegas satu hal: Guru honorer tetap diperlakukan sebagai warga strata dua dalam sistem pendidikan Indonesia.
Status Boleh Beda, Tapi Beban Sama
Mari kita buka fakta yang tak bisa disangkal: Guru honorer dan guru ASN sama-sama mengajar, sama-sama mendidik, sama-sama memikul beban kurikulum dan tanggung jawab terhadap murid.
Namun, yang satu mendapatkan perlindungan dan tunjangan penuh, sementara yang lain hanya diberi janji manis dan status tak kunjung pasti.
Lebih ironis, tidak semua guru honorer mendapatkan sertifikasi, padahal banyak dari mereka telah bertahun-tahun mengajar dan mengikuti berbagai pelatihan.
Prosedur birokratis, kuota terbatas, dan seleksi tidak selalu transparan membuat akses terhadap sertifikasi hanya jadi mimpi di siang hari.
Jadi, bagaimana mungkin keadilan ditegakkan jika peluang awalnya saja sudah timpang?
Logika Terbalik
Juknis ini menetapkan bahwa tunjangan sertifikasi guru honorer akan dicabut jika yang bersangkutan diangkat jadi PPPK.
Pertanyaannya: Kenapa justru ketika status mereka membaik, hak finansial dari sertifikasi dicabut? Apakah sertifikasi hanya berlaku untuk mereka yang tetap berada di posisi paling rentan?
Padahal, guru yang sama, dengan kompetensi yang sama, hanya berpindah status administratif.
Jika pemerintah ingin mendorong profesionalisme guru, bukankah logis bila tunjangan sertifikasi tetap berlanjut, atau bahkan ditingkatkan, setelah menjadi PPPK?
Alasan pencabutan tunjangan lainnya seperti meninggal dunia, pensiun, atau cuti berkepanjangan memang bisa dimaklumi.
Tapi jangan lupakan satu hal: banyak guru honorer hidup dalam ketidakpastian setiap harinya, dan kebijakan seperti ini justru menambah beban psikologis mereka.
Ini Soal Keadilan
Juknis ini bukan sekadar soal administrasi. Ini soal bagaimana negara memperlakukan guru honorer yang selama ini menopang pendidikan Indonesia di daerah terpencil.
Perlu digarisbawahi, mereka hidup dengan gaji yang nyaris tidak layak, dan status yang digantung bertahun-tahun.
Mereka digadang-gadang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tapi dalam kebijakan nyata, mereka seringkali diperlakukan sebagai anak tiri.
Pemerintah tidak bisa terus berdalih pada “aturan”. Aturan yang diskriminatif tetap harus dikritik.
Karena sertifikasi bukan hadiah. Ia adalah hak profesional yang seharusnya dimiliki oleh siapa pun yang memenuhi kualifikasi, tanpa memandang status kepegawaian.
Jika Negara Tidak Berani Membela Guru Honorer, Siapa Lagi?
Sudah saatnya negara berhenti mempermainkan nasib guru honorer dengan kebijakan setengah hati.
Jika benar ingin memperbaiki kualitas pendidikan, mulai dulu dari memperbaiki nasib gurunya tanpa diskriminasi.
Berhenti menutup mata dengan retorika. Tunjangan sertifikasi bukan hanya soal angka. Ia adalah cermin dari penghargaan negara terhadap kompetensi dan pengabdian.
Dan selama guru honorer masih dikesampingkan, pendidikan Indonesia hanya akan jadi panggung ilusi: Indah di atas kertas, rapuh di kenyataan. [Surya]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.