Ironis‼️ Negara Tak Butuh Guru Hebat, Cukup Guru Honorer yang Pasrah⁉️🇮🇩
Pemerintah lagi-lagi mengatur nasib guru honorer dengan cara yang seolah "baik", tapi sebenarnya membungkam jeritan sunyi mereka yang selama ini terus diperas tenaganya tanpa perlindungan layak.
Melalui Persesjen Kemendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025, tunjangan sertifikasi untuk guru honorer kembali diatur, bukan untuk mempermudah akses, tapi untuk memperjelas bagaimana dan kapan hak mereka bisa dicabut.
Ironis? Tidak. Ini sudah keterlaluan.
Beban Sama, Hak Tak Sama
Fakta menyakitkan ini terus berulang: Guru honorer menjalankan tugas yang sama dengan guru ASN, tapi hak mereka tak pernah disetarakan.
Masuk pagi, mengajar penuh, membuat laporan, mendampingi siswa, bahkan dituntut ikut pelatihan dan sertifikasi, semuanya dilakukan.
Tapi giliran insentif, perlindungan kerja, atau pengakuan status? Mereka diperlakukan seperti bayangan: Ada, tapi tak diakui sepenuhnya.
Yang lebih menyakitkan? Tidak semua guru honorer bisa mengakses sertifikasi.
Ada yang sudah puluhan tahun mengabdi, tapi tidak pernah menyentuh SK tunjangan.
Bukan karena tidak layak, tapi karena sistemnya tertutup, kuotanya terbatas, dan seleksinya kerap tidak transparan.
Diangkat Jadi PPPK, Sertifikasi Dicabut?
Tampak jelas, saat ini negara sedang main-main.
Dalam juknis terbaru, dinyatakan bahwa jika guru honorer diangkat jadi PPPK, maka tunjangan sertifikasinya otomatis dihentikan.
Logika macam apa ini? Guru itu justru sedang naik status, menunjukkan kemajuan dalam karier profesionalnya.
Tapi kenapa justru hak sertifikasinya malah dicabut? Bukankah sertifikasi itu bentuk pengakuan atas kompetensi?
Kalau naik status saja berakibat hilangnya hak, pertanyaannya jadi tajam: Apa sebenarnya maksud dari tunjangan sertifikasi itu sendiri?
Pengakuan kompetensi atau sekadar alat kontrol?
Pasrah
Guru honorer tidak pernah melawan, karena mereka mengabdi, bukan sekadar bekerja
Fakta yang lebih menyayat: meskipun terus diperlakukan tidak adil, guru honorer nyaris tidak pernah protes.
Mereka tidak mogok. Tidak demo besar-besaran. Tidak menolak mengajar meskipun gaji mereka bahkan kalah dari tukang parkir di pusat kota.
Kenapa? Karena mereka punya keyakinan kuat:
“Menjadi guru adalah ibadah. Ini bukan pekerjaan, ini pengabdian.”
Mereka diam bukan karena bodoh. Mereka tunduk bukan karena lemah. Mereka sabar bukan karena tidak tahu dipermainkan.
Mereka tetap berdiri di depan kelas karena hati mereka lebih besar daripada kebijakan yang terus mengecilkan.
Dan karena itulah negara terus mengabaikan mereka.
Karena mereka tidak ribut, maka dianggap cukup diberi remah-remah.
Sertifikasi atau tidak, guru tetap mengajar. Tapi sampai kapan negara tutup mata?
Harapan
Apa sebenarnya yang negara cari? Apakah negara hanya butuh guru honorer yang patuh, tidak banyak bertanya, dan cukup puas digaji sekadarnya lalu disuruh terus tersenyum?
Sampai kapan negara menumpuk harapan di pundak guru honorer, tapi membalasnya dengan regulasi yang kejam dan diskriminatif?
Guru honorer bukan mesin. Mereka manusia. Mereka punya anak yang harus disekolahkan, dapur yang harus ngebul, dan harga diri yang selama ini diam-diam digerus oleh sistem yang timpang.
Jika pemerintah tidak berani memihak guru honorer, maka negara ini layak dipertanyakan komitmennya pada duni pendidikan.
Tunjangan sertifikasi bukan sekadar tambahan penghasilan. Ia adalah bentuk pengakuan profesional atas dedikasi.
Jika itu dicabut begitu saja tanpa perlindungan yang lebih baik, maka yang dicabut bukan hanya tunjangan, tapi juga martabat.
Jangan heran jika suatu hari anak-anak bangsa dididik oleh mereka yang tidak lagi punya bara semangat, karena negaranya sendiri gagal menghargai para pendidik.[Surya]
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.