Langsung ke konten utama

Postingan

Sungai Darah Naluri (38)

Novel: Yant Kaiy Tapi bagiku teramat penting lantaran budaya hidup tidak sebatas urusan finansial belaka. Apa yang akan dibeli kalau barangnya tidak ada di pasaran. Apa yang akan dimakan kalau alam tidak lagi menyediakannya. Jadi tidak ada artinya lagi uang. Bagus   :Kau jangan terlalu kolot, Bar...! Sebar    :(Tersinggung) Mana bisa aku menentukan, juga kau !!! Bagus    : Ini tradisi... tahu l... Sabar     :Apakah hal ini bukan i s u, Gu s ??? (Bimbang) Bagus    :Lhooooo, seringkali kau aneh... Kapan kau mau maju ?11! Sabar     : Bagaimana dengan sikap Luka ?? Bagus     : la malah s earah dengan tuntutan yang wajar, Bar... Mereka merencanakan mogok kerja di sepanjang detik, mengeruk perhatian terhadap sungai darah emosi sebagai buruh, sebagai bawahan semestinya tunduk mengikuti perkembangan situasi .   A ku sebagai orang baru di dunia penuh kepalsuan, kebohongan, kelicikan, bahkan tak lebih dari sebuah cambuk penindasan, maka dari itu aku harus juga menyadari

Sungai Darah Naluri (37)

Novel: Yant Kaiy K ubersandar pada jiwa yang mungkin dapat dibenahi lagi. Walau a ku memang tidak terlalu yakin. Walau kadang kemungkinan ternatal di antara kejenuhan itu sendiri. Di sinilah kupertaruhkan bermacam bakat terpendam selama bertahun - tahun kusiram dengan kesejukan alam pegunungan menghijau pada pandang mata . Adalah sahabat lama: Sabar, Bagus, dan Luka telah banyak memberikan perhatian sungguh mulia bagiku , tak mengenal perjalanan persaingan di tengah kebisingan waktu acapkali membelenggu harapan diantara banyak pilihan . Mereka terasa menyatu di nuansa langkahku dirasanya lamban memuntahkan lahar kejutan di dunia bisnis. Kebersamaan kami ternyata kesatuan tak mungkin dipisahkan oleh kemarau divide et empera sepanjang perjalanan terpotret oleh banyak pengacau. Sifat lunak terhadap sesama tak mungkin terbuang, terlempar, terkapar, lalu terbakar oleh naluri hitam tak berperasaan. Di sudut ruangan terasa baru , hampa semuanya, kupacu lan g kah diri terus m

Sungai Darah Naluri (36)

Novel: Yant Kaiy Suatu ketika di kantin, tempat dimana para karyawan mengisi perut dan bercengkerama dalam suasana kurang peduli terhadap sesama. Semua sibuk memilih-memilah apa yang dikehendaki. “Apa kau takut?” “Untuk siapa? Semua takkan lepas dari bidikan gelora hati orang lain. Kebenaran seringkali memang menyakitkan. Tapi kita harus ikhtiar menyibaknya, sekuat tenaga tanpa kenal lelah.” “Wajar kau lelaki.” “Apa bedanya?” “Persamaannya sebagai makhluk bernyawa. Tapi perempuan tentu lebih lembut. Pria mesti perkasa.” “Mencintai diri sendiri bukan dari wajah diperbaiki. Tidak cukup. Kebersihan hati modal utama kau meniti perjalanan usia. Aku tak punya waktu mengguruimu. Ilmu pengetahuanmu lebih dari apa yang aku miliki.” Ia tersenyum lebar ketika kami berpisah, meleburkan rencana selanjutnya karena jam pulang belum berdentang. Sekali lagi aku mengimla musim di semesta naluri. Tumbuhlah di sekitarku iri yang tak mungkin kumusnahkan dengan cairan racun yang di tuan

Sungai Darah Naluri (35)

Novel: Yant Kaiy Tak mungkin aku ber p ikir lebih dari dua kali karena hal yang semacam ini justru mengganggu aliran sungai kebulat a n hati, kalau sudah demikian yang pasti akan terurai ben a ng - benang keresahan membuncah, padahal aku harus menyatu dengan berbagai tugas yang sudah menanti. Aku butuh tempat berlindung dalam mengembang kan diri. Namun masih dapat kulihat peluang yang agak lebih luas dari daun kelor. Kubersyukur dapat dipertemukan dengan kenyataan yang tidak mungkin kutolak kehadirannya walaupun aku harus mengorbankan sesuatu teramat berharga yang terdapat pada diri ini. Oh... Berbagai cara dan etika dari tugas yang harus kuhadapi sudah siap meng h adang liku perjuangan yang sesungguhnya. Bila pagi menjelang. Udara segar memberiku spirit dalam menyelesaikan berbagai halaman tugas kantor swasta, semuanya dipasrahkan terhadapku. Sebagai bawahan yang yunior masih dalam berkembang dalam karier, dan sesuatunya masih berjalan dengan dibantu oleh arah mata angin yang mem

Sungai Darah Naluri (34)

Novel: Yant Kaiy T iba pada sebuah waktu dalam perjalanan nan gamang. Kujumpai beraneka ketidak-wajaran terlalu naif kesan pertamanya. Tak sanggup kumenatapnya meski aku harus mafhum betul atas sikap diri dalam beradaptasi . Sekelumit tanya merona, mengapuri senja kalbuku, ada baris - baris sesal bersandar pada asa terus membara. Kuungkapkan lewat bahasa yang disempurnakan dengan maksud sesungguhnya, dari garis yang sukar ditebak dan diluruskan . Akhirnya timbullah rumah kelucuan dengan bangunan lamunan berpagarkan naluri yang tak beribu kelicikan. "Kapan kau dapat membuktikannya?..." "Entahlah, sebab hujan masih dalam mimpi! ” “ Apakah kau seorang paranormal?..." Ia kembali mengulitiku. Tangannya lincah bermain, menyasar segala yang dapat disentuhnya. "Bar a ngkali kau melihat binar - binarnya saja. " “Benarkah?” "Sudah kuumumkan lewat corong iklan. " "Tetapi terlalu sedikit kesempatannya!??" Ia menatapku da