Langsung ke konten utama

Postingan

Ibu Muda

Pentigraf: Yant Kaiy Ayah menikahi Tonah, seorang janda beranak satu. Ayah sendiri menduda setelah Ibu meninggal 4 tahun yang lalu. Kini usia Ayah sudah enam puluh tujuh tahun. Ayah pensiunan guru SMA. Sedangkan ibu tiriku berumur 41 tahun. Dia masih jadi gegawai negeri di salah satu dinas kabupaten. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak kepergian Ibu, kedua adik perempuanku yang mengurus rumah. Aku sendiri sudah bekerja di perusahaan rokok di kota lain. Maka aku jarang pulang ke rumah. Ketika Ayah akan melangsungkan pernikahan, aku mendampingi beliau menuju kediaman calon ibu tiriku. Aku terperanjat tatkala mata ini melihat sosok yang kukenal. Dia juga kaget menatapku. Astaga!... Ternyata Tina yang kukenal nama samarannya; Tonah nama aslinya.  Aku pernah membauinya di salah satu hotel. Dia punya cukup uang untuk membeli kelelakianku. Pasongsongan, 1/3/2020

Gejolak Dendam

Pentigraf: Yant Kaiy Dendamku senantiasa menggelegak terhadapnya. Dia telah memobilisasi kaum muda di desaku untuk menyudutkan segala gerak-langkahku. Sehingga aku terkurung diantara pergaulan hidup sehari-hari.  Tapi aku tetap saja menembus kabut itu. Tak penting bagiku surut satu langkah pun, lantaran apa yang kuperbuat benar menurut takaran norma yang ada. Sesungguhnya aku tak punya banyak waktu untuk membencinya walau dendam di batin ini senantiasa bergemuruh. Tiada guna membenci mereka. Aku hanya yakin kalau orang yang tidak berbuat salah akan mendapat perlindungan Tuhan. Kalau keyakinanku ini salah, berarti ayat-ayat Tuhan yang tertuang di kitab suci setiap agama itu keliru juga. Gejolak dendam itu memang akan senantiasa menghias hidup siapa pun. Sebagai pengacara, aku tak mau dendam itu meraja di dada. Maka aku jadikan dendam sebagai pemicu semangat dalam membela umat tertindas akibat kemunafikan-kemunafikan orang yang hanya mementingkan isi perutnya sendiri.

Bulan Tertutup Mendung

Pentigraf: Yant Kaiy Derita Tonah memang telah menghilang, tergantikan ceria tersebar luas diantara pergaulannya. Aku tak menyangka ia akan bisa bangkit dari keterpurukannya. Ia tetap sanggup mengepakkan sayapnya di udara merdeka. Meski bulu-bulu sayap itu telah terlepas ke tanah. Satu aib ayahnya telah merenggut harga diri dia sebagai seorang tokoh perempuan muda dengan segudang penghargaan yang diraihnya. Beberapa gelar internasional  juga menghias kariernya di bidang sosial budaya. Tonah pemilik sebuah yayasan yang peduli terhadap penyandang penyakit HIV dan pengguna narkoba. Disamping ia memberikan motivasi pada pasien, yayasannya juga memberikan pengobatan gratis lewat metode terapi. Sebagai anak tokoh politik penting di bumi nusantara, Tonah menjadi mudah mendapat kepercayaan dari mereka. Ia juga gampang memperoleh akses ke beberapa pejabat publik, sehingga yayasannya mendapatkan aliran dana cukup banyak. Lalu dana itu dikorupsi dengan ayahnya sendiri. Ayah Tonah lal

Pandangan Pertama

Pentigraf: Yant Kaiy Aku tak tahu siapa namanya. Wanita muda penjaga toko di kampung terpencil. Kampung yang dulu terkenal masyarakatnya berbudaya maksiat. Banyak menjadi maling sapi, ayam, kambing. Kini dengan adanya pondok pesantren, benih-benih perilaku dosa dari mereka mulai berkurang. Mereka tidak lagi mengandalkan mencuri sebagai mata pencaharian. Mereka mulai merantau ke negeri orang. Wawasan mereka akhirnya lebih baik. Hasil kerja, mereka jadikan bentuk usaha. Aku hanya sebatas pengantar kerupuk ke toko dan warung serta kantin pondok pesantren. Pandangan pertamaku langsung mengantarkan hasrat diri untuk bisa menakar seberapa besar peluang dalam mendapatkan cintanya. Dengan jurus basa-basi. aku yakin bisa membongkar apa yang menjadi impian cintanya. Perubahan begitu cepat ini mejadikan penampilan kaum muda-mudinya tidak lagi kaku. Gaya hidup mereka terus mengalami kemajuan. Salah satunya gadis yang aku incar. Aku menunggu saat jitu dalam menembakkan peluru cinta

Ada Noktah Luka di Matamu

Pentigraf: Yant Kaiy Perkenalanku dengan Tonah terjadi di sebuah taman perumahan Bekasi. Sesama perantau dari latar budaya berbeda tentu membutuhkan adaptasi dengan karakter kedaerahan kami. Tidak mudah memang. Aku terus menggandrunginya seiring kemesraan yang terhampar luas diantara rindu menggebu. Tak terpikirkan lagi tentang kidung kampung halaman. Ketika aku mengungkapkan gejolak di dada, ada berjuta makna menghias sikapnya. Aku terus menyemplunginya. Akhirnya kutemukan rahasia pada noktah di matanya. Tersimpan luka walau tak berdarah. Tapi itu cukup berarti baginya. Pada Hari Raya Idul Fitri aku berjanji melamarnya. Tonah bersedia akan kembali ke tanah kelahirannya. Walau aku masih belum menjemput asa di rimba Kota Bekasi. Aku tak mungkin menunda lagi. Ini saat terbaik. Pasongsongan, 1/3/2020