Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Novel

Sungai Darah Naluri (21)

Novel: Yant Kaiy K epada manusia yang tak tahu adat, picik, sempit wawasan, sering kurang ajar, semena-mena terhadap kaum tampak lemah. Lalu laksana mendapatkan kekaguman luar biasa, padahal sudah lama terkubur bersama impian semacam khayal belaka, tiada percuma menggantung di a yunan musim mengundang berjuta impian , lamunan , musik khayal menjelang ke pembaringan malam. Masih sempat ku kuecu p gerak mereka penuh ke lembut an. Tid ak ter belenggu akan kebebasan- kebebasan pada seni yang kuterjemahkan lewat lubang nurani dan tempat itu tel ah kudud u ki ter am at tenang. Tak bergerak lagi aku mengikuti rangkaian puitis dari mulut tak berbusa deterjen, lantaran ketenangan bagiku segala - galanya . D isinilah konsentra s i ku menjumput alam pikiran cemerlang kembali bangkit bersenyawa dengan keg a mang a n. " Kapan waktumu dapat kuperbaiki kembali ?” " Kau percaya aku tak dusta? " " Entahlah, sebab aku masih seor a ng diri..." " Sampa

Sungai Darah Naluri (20)

Novel: Yant Kaiy Anehnya mereka tidak mau tahu dengan kejengkelan yang kupersembahkan . A tau mereka memang tuli akan nasib yang lebih sengsara dari mereka? Meskipun kehadiranku ke gedung angkuh dan sombong ini bukan undangan mereka, toh semua itu wajar, sebab diriku bukan maling yang akan menggarong isi perut mereka, bukan pula pengemis tak tahu malu. Antara kami saling membutuhkan, walau mereka tak jarang berlagak sok paling dibutuhkan. Aku masih punya hati , perasaan sebagai manusia tak berwibawa. Padahal aku   lebih peka dari otaknya yang tak tahu malu sendiri makan dari perjuangan dan pengorbanan manusia tak bers a lah. Aku turun tangga. Berbelok , berputar di lorong berkamar yang tak berdinding . Tak kujumpai debu di sepanjang lantai, kecuali kebisingan s uara dari tawa tak berpendidikan; tak tahu adat !... Barangkali budaya penjajah masuk pada kepribadiannya yang tak bisa ditawar lagi? Sesekali langkahku terhenti membaca advertensi bertuliskan huruf besar, me

Sungai Darah Naluri (19)

Novel: Yant Kaiy Dari pagi ke pagi. Kendaraan yang membawaku terasa lambat, padahal hatiku tak dapat diingkari sangat ingin cepat sampai tujuan.   M ataku bergerak bebas keman a saja, menyapu keramaian . Kubiarkan orang - orang memperhatikanku dengan nada curiga di sekeliling gerakku tak menentu. Jiwaku kerontang, terdiam begitu saja. Arloji tanganku bergerak, berputar menyusuri langit mengabarkan penyesalan. Aku pun sudah tiba di sebuah gedung mewah bercat putih mulus. Entah sudah keberapa kalinya k a ki ini mencium bau kesombongan di ruang gedung tersebut dari mereka yang melihatku bersikap acuh tak acuh saja hingga aku tak sadarkan diri untuk memberikan pelajaran, tanpa menghilangkan kesan sopan dan ramah sekaligus. Pekerjaan rutin tak dapat k u bohongi. Di ruang sangat sejuk ditaburi bunga mawar dan melati, aku menyerahkan harga diriku pada redaktur koran harian, terk a dang tidak sopan menarik - narik busanaku hampir telanjang bulat di banyak mata di situ. Aku t

Sungai Darah Naluri (18)

Novel: Yant Kaiy Entah mengapa aku harus membiarkan waktu terbuang dan larut d a lam kepedihan yang mengukir perjalanan tak tentu rimbanya, aku tak menuntut keadaan lebih baik dari hari kemarin kepada nasib , namun aku memerlukan jembatan untuk menyampaikan aspirasiku yang berceceran; kuwakili mereka diantara kebutuhan meruah, semuanya sibuk akan isi perut masing - masing. Tiada salahnya kalau sebagai wakil mereka mel a porkan apa adanya , tidak mengurangi atau menambahi , buat yang berwe nang menangani permasalahan ini agar tidak membuahkan dendam , benci , fitnah, kecewa kronis. Jikalau ke bijakan tersebut dibiarkan menguap terbawa angin , bukan tidak mungkin jarak salah satunya semakin meregang tanpa tedeng aling - aling. Aku ingin membuat keharmonisan di atas ketegangan dan perselisihan , tak pernah lenyap terkubur, padahal manusia sudah lama mau menghilangkan perbedaan suku, adat, ras dan agama sebagai bukti toleransi serta pengakuan diri dalam mengembangkan pergaul

Sungai Darah Naluri (17)

Novel: Yant Kaiy Aku ti dak mau menjadi pe cundang. Kendati diriku tak mampu mem persembah kan sesuatu paling berharga supaya bisa ditukar dengan sepotong nafsu be jat. Lalu k ubiarkan mereka menertawakan ketololan sepuasnya, kuterima kemenangan yang masih tertunda entah hingga kapan. Kupandangi mereka sampai di s alah satu kamar kelam nan abadi. Kamar itu tak sunyi lagi di tengah hembusan hali m un membawa penghuninya ke taman surga imitasi menyesatkan kehidupan hakiki. Yah... untuk apa berkhotbah kepada man u sia tak tahu malu, buang - buang waktu saja, kecuali kecewa yang menggiring penyesalan lebih lama bercokol dan meretas kedamaian dari keteduhan hati.... Kuatur langkah kembali menelanjangi malam sepanjang jalan menumpahkan gundah berpencaran ke sela - sela halusinasi nan keras. Aku sudah sampai di gubuk seperti istana, yah, di sinilah istanaku. Di depan meja mesin ketik karatan oleh air hujan yang menerobos dengan paksa, kutuangkan renungan kecil ke dalam

Sungai Darah Naluri (16)

Novel: Yant Kaiy "Aku butuh makan . " “ Kau membuatku bergetar..." “ Ini bukan nafsuku... " Aku tak ingin hidu p sebentar ini jadi bahan tertawaan semut hitam sedang asyik mengelilingi butir-butir gula , sebab aku tak mau terbakar sebelum waktu panen padi menjadi kebang ga an, tak jauh dari kebangsatan yang disuguhkan dengan anggur merah darah . A ku pun enggan ber s ikap laksana binatang liar dan g e sit sekali pun. Kubayangkan segal a kenyataan dan kubiarkan diriku mabuk oleh rumah mungil fanta stis di sebuah bukit kebencian, aku berenang ke tepi tanpa perasaan malu . Kuminum air laut. Kumakan rumput... Tak kubiarkan dia menerkemku !... Sebab lebih berbahaya dari kematian. Kuberikan uang ribuan di tangannya yang dingin tak menggairahkan. Kubacakan kalimat puitis do a- doa di jemari tangan lembut nya . Kemudian dia berceloteh, aku masih belum siap mend e ngarnya, tanpa menghiraukan dia langsung berdongeng hikayat masa silamnya sampai b

Sungai Darah Naluri (15)

  Novel: Yant Kaiy Biarlah aku berdiri tegak dari bentuk kehidupan lumpur hitam . Tak ingin aku menyalahkan siapa saja lantaran diri ini masih berada dalam kumpulan umat terbuang. Aku masih memiliki citra diri, martabat, cita -cita mulia, hak pada akhlak terhormat lebih dari masa silam. Berlaku baik, m emberikan pelita terang terhadap sesama sebagai bekal kehidupan kelak di akhirat. Sungguh, aku tak ingin sia - sia berkelana. Aku butuh waktu lama untuk membangun , merombak tatanan sosial, menata langkah dalam menggali ragam pengembaraan di sudut kota kumuh oleh manusia t id ak peduli terhadap lingkungannya sendiri. Lalu aku sulit membedakan nuansa kemewahan , gemerlap lampu-lampu kota yang terdapat di antara kesibukan dan persaingan tak menentu lagi keras. Dari tempat duduk yang agak jauh dari kilas mataku nan letih, aku mendapatkan sosok Ibu yang sesungguhnya; dia t id ak tertawa, kecuali alis matanya tebal mempesona , rambut ikalnya seolah tak terurus, berjatuhan ke ta

Sungai Darah Naluri (14)

Novel: Yant Kaiy Aku masih sanggup bertahan pada serangan fajar setan itu. Sebab goresan masa lalu masih membakar darahku merah saga, meskin darah tersebut bersumber dari barang - barang najis, bau, kotor, menjijikkan. Dari sekian perjuangan dan pengorbanan ternyata tak me nghasil kan buah keteduhan dan ketentra m an. Apakah ini bagian dari karma yang tetap berdiri diantara keturunannya? Walaupun aku sudah begitu lama meninggalkan jejaknya, simbol hina dari kaum brengsek akan terus terukir di keresahanku sendiri, sedangkan aku m asi h berikhtiar untuk menghapus abu dari pembakaran kepercay a an tempo dulu. Kutegu k kehidupan masa lalu bersama segenggam mimpi tentang mahligai rumah tangga. Keyakinanku telah mengakar kuat disetiap persendian ini, bahwa pada saatnya nanti akan terengkuh indah. Tuhan akan senantiasa bersama umat teraniayah. Kubiarkan tangan lembut meminta dari hau s nya kemuakan yang memaksaku supaya cepat bertindak. Aku menepis suara bising dari kamar

Sungai Darah Naluri (13)

  Novel: Yant Kaiy Waktu pun dihiasi usia menua, bergulir, mengalir ke selokan menaburkan bau bangsat. Semua orang kencing di sana. Tetapi aku tak mau berbuat kurang ajar terhadap kebersihan . Sebab ia adalah pangkal keimanan dari desah nafas kehidupan insan itu sendiri . Kini aku mencoba meniti yang kumuh menembus dinding angkuh, jendelanya tinggi melahap sifat gotong - royong jadi keinginan yang menang sendiri. Tiada kebebasan yang memberikan peluang. Aku menendang ruang kosong. Aku ke luar lagi dari sisi jalan lain nya senyampang hiruk-pikuk masih terdengar . Aku seolah kembali pada dunia masa lalu , pada cahaya remang - remang, suara - suara merdu dari bibir bergincu, minyak wangi murahan tercium olehku , asap nikotin menyapu wajahku. Aku semakin dekat pada gubuk semacam warung lengkap dengan makanan dan minuman khas pedesaan. Mu sik cinta mengalunkan senandung asmara; berjoget sembari tertawa menghilangkan penat, lalu sempitlah dunia yang berada dalam genggaman h

Sungai Darah Naluri (12)

Novel: Yant Kaiy Aku lupa tak membawa sekeranjang lamunan pada bisikan malam sunyi, se bab aku menyusuri lorong gelap dengan langkah tak pasti dan mata yang terpejam oleh dingin halimun. Aku berdiri di antara siraman lampu - lampu malam membingungkan sekaligus m elepaskan tawa sesaat . Sementara kendaraan tiada lelah mengukur jalan tak berujung kepastian. Aku duduk di bangku panjang di dekat pengemis menadahkan tangan kepada langit bertabur bintang , kepada debu yang hinggap di lengan dekil nya, kepada kertas berterbangan di sisi pasar kumuh , beraroma busuk . Di sini aku banyak mendapatkan bentuk kehidupan beragam. Lalu aku ber teduh pada dekap-Nya senantiasa; kadang aku ingin menangis dan tertawa sepuasnya. " Kau tahu dengan pengemis yang sedang menyanyi itu? ” " Aku tak mengenal suaranya . " " Ada musiknya kok... ” " Kamu dari mana ? " " Kalau kau belum kenal tanyalah pada pengemis yang menyanyi itu . Kidungnya lembut menya

Sungai Darah Naluri (11)

Novel: Yant Kaiy B iarlah tuli mereka dengan realitas kepedihan sayatan sembilu diantara kemiskinan dan kesengsaraannya . B iarlah aku saja yang akan mengerti dengan semua isyarat pancaroba bercakrawala kelabu nan buram, hampir tak dapat diterjemahkan kedalam angan mikroskop elektron super canggih man a pun, semasih ada serat - serat asap masa bodoh, cuek... Aku ingin berkabar pada lazuardi yang berliuk-lampai menghitung jemari awan tipis. Tetapi aku lupa akan mantera dan segala rahasianya . Jujur, a ku tak mau berlarut di sisi kebimbangan itu sendiri, aku masih membutuhkan banyak waktu . A ku masih perlu berbenah agar tak lepas dari haluan kapal hidupku begitu saja. Diantara kesunyian aku terseok - seok mengapuri pengembaraan, sementara beban kian sarat, aku tak dapat melempar sauh ke dalam kolan tak berdasar, lantaran layar keyakinanku tak dapat terkembang. O, aku masih lupa menjahit lukanya di sepanjang tubuh ini. Ki ni aku terdampar di antara kebimbangan dan keresah

Sungai Darah Naluri (10)

  Novel: Yant Kaiy Sebenarnya masih banyak kesempatan untuk "berontak" kepada situasi sebab hal demikian termasuk kedalam jiwa nasionalistis tanpa mengesampingkan kepercayaan yang kuanut sebagai tuntunan hidup di kehidupan fanaku, dan aku senantiasa terjaga dari mimpi melelahkan serta pohon - pohon renunganku masih tumbuh di atas tanah ber batu cadas , mengering dalam realitas, bahkan... g ersang... Aku berputar kembali di keheningan, terpatri dalam keputihan sanubari dan tumpah bersama derai derita dikebi s uan. Demi kasihnya, kurelakan berkorban terbakar, tertindih, terinjak, terkapar tanpa suara bergema sekalipun, karena aku hanya ingin berteriak dalam dasar kolam yang barangkali kurang keras dan kurang lantang untuk mengalahkan suara hujan dan topan menentang kepalsuan yang menjurus pada gubuk kesyirikan , kelicikan, kekufuran tak terampuni. Padahal diriku harus bersujud; menyadari kekhilafan terlalu letih. Karena aku begitu lama menyimpan rahasia kemuakan dan

Sungai Darah Naluri (9)

Novel: Yant Kaiy Kuingin menolongny a. Namun dengan apa aku dapat mengembalikan dunia mereka yang kelaparan, tertindas, terinjak - injak oleh semacam tirani buram tak bergambar jelas, tetapi pengaruhnya amat kuasa membawa pada sebuah rumah kehancur a n. Kuingin mendapatkan duniaku kembali yang hilang dengan jurang luka menyayat kado masa lalu, mengharu biru, dan kutak ingin tersesat sedemikian rupa deng a n apa yang menjadi jalan dan sikapku selama bertahun - tahun. Kuingin suasana sunyi. Kuingin derita tetap ada. Kuingin berdikari di sini, di dunia sepi. Kuingin sendiri bersama malam. Menyusuri pekat lamunan . Kutak ingin menang. Kemudian di antara kebimbangan itu ada serbuk - serbuk asa merenda perjuangan, aku selalu saja me n dambakan peristiwa yang tak terlalu berge m uruh di benak mereka walaupun nantinya akan membawaku pada perhatiannya, terlalu naif jika bisa men embus ke arah sana, sebab bukan apa yang menjadi prinsipku selama di dunia ini. Biarlah sengs

Sungai Darah Naluri (8)

  Novel: Yant Kaiy Aku ingin hidup sederhana, tenang kureguk bersama kerendahan hati terhadap sesama agar dapatnya mampu memahami isyarat alam fana sarat coba , tak habis terkuras walaupun dengan usia senja bumi tempat terkuburnya Ibu dengan sosoknya memilukan. Polusi masuk dan kembali ke tubuh, aku tak berteriak, sebab kebebasan berbicara suatu istilah terbukanya demokrasi, n a mun aku akan tetap diam, hanyalah rangkaian kalimat berbicara, itulah peluru dan granatku nan militan. Biarlah aku jadi sebatang pohon; siap senantiasa menerima permainan sang bayu; berbuah dan... Amalku hanya sampai di situ , tak lebih . K arena aku tak memiliki barang antik yang patut dibanggakan untu k dipamerkan di museum. A ku berhasrat untuk terbang mengembara dengan potongan balok asa biar buah yang kuhasilkan dapat memuaskan hati mereka sebagai bahan mak a nan terakhir santap malam. Tetapi aku tak suka juga dengan pemerkosaan fanatik yang s keptis; gampang berkembang dan bermekaran kalau

Sungai Darah Naluri (7)

  Novel: Yant Kaiy Akan kusinari di sudut kebimbangan dan rasa cengeng tak bercakrawala, kendati kurasa ada yang hilang dari diriku, kecuali mata - hatiku masih tegar menghapus luk a lama bagi almarhumah Ibu. Aku ingin membuat garis kehidupan dari sini, lalu aku menariknya perlahan saja biar tak bergambar corat - coret yang membingungkan, ak a n aku hargai. Bulan jatidiri seolah semakin lenyap diterkam malam, awan hitan, kabut - kabut tipis yang menghalangi pandang mataku sebanyak bintang mengapuri langit tampak menteror kenangan masa lalu, jatuhnya laksana meteor, berkeping, berserakan. Aku tak bangga lagi dengan semua yang dinilai mereka tak ubahnya kemenangan, dan aku berusaha untuk menghilangkan jejak itu, sekali lagi kuingin mencabutnya. Tetapi terlanjur mereka menuduhku yang sedemikian ga mpang . Sungguh, aku tak mau mengeruk keuntungan dari percikan kepedihan mereka ter am at dalam, biarlah aku saja yang minum air m e siu ganas dan mengerikan daya ledaknya, biarl

Sungai Darah Naluri (6)

  Novel: Yant Kaiy Aku pun terus membuat langkah-langkah baru sebagai antisipasi kegagalan menghadapi berjuta kendala . A ku juga membu a t garis - garis rencana yang kupandang jitu mengusir kemelaratan, dan skema keinginan menjadi lebih bermanfaat ba g iku menelanjangi hari baru yang terasa melelahkan sekali . L alu bagaimana aku harus menaklukkannya ? S ementara aku tak memiliki senjata pemusn a h yang dip akai oleh orang-orang sukses dalam bidang bisnis, pemerintahan, bahkan bidang asmara... S edan g kan diriku berjalan dengan tangan kosong . S enantiasa aku belajar berjalan k emba li kepada waktu yang membimbingku menjadi lebih dewasa, lebih berani menghadapi persaingan hidup itu sendiri, lebih sering mendapatkan cemooh menyakitkan dari mereka yang tak tahu akan hak i kat susastra sesungguhnya, lebih segala-galanya... Bangkitnya rasa kesadaran daripada kedewasaanku tak lebih dari sebuah deraan lingkungan semena - mena, menginjak - injak duniaku yang dirasa mereka aneh

Sungai Darah Naluri (5)

  Novel: Yant Kaiy Lalu siapa yang salah? J ikalau budaya "kutu buku" dari rakyat musnah, sedangkan seniman - seniman yang tak lebih dari snob muncul diantara tawa kemenangannya. Duh, kenapa aku harus mengutuk para red ak tur yang telah bekerja keras ? Biarlah aku lapar asalkan aku tak makan daging tubuhku sendiri akibat benci memangsa ketenangan. Begitulah kupaparkan dari banyaknya keinginan . Biar lah a ku sekarat haus akibat sengatan siang asalkan tidak meminum darah kehidupan orang lain. Akan kubakar puing - puing dendam yang memancarkan kepatah-arangan di te tes an sungai harga diri. Namun aku butuh asap rokok yang bisa memb angkitkan ro na naskah - naskah fiksi, dan aku tak ingin mengemis terlalu hina kepada p a ra dekatnya dan seringnya aku mengirimkan karya - karya itu sendiri, juga a ku tak suka kalau nantinya harapan itu menjadi buih - buih tak bermakna. Sebab manusia bekerja tak hanya lewat otot kekar idem dengan teriakan tukang o bat yang digelar di

Sungai Darah Naluri (4)

Novel: Yant Kaiy S ebab apabila aku membaca hikayat; acapkali dipidatokan dengan suara membahana oleh alim ula ma , maka air mataku tumpah. Kulukiskan I bu dikelilingi ular besar dan ditusuk - tusuk ganas oleh tombak membara ; dicabik-cabik oleh taring srigala - srigala bu a s. Bah kan aku tak sa nggup berdiri merenungi kehidupan kekal Ibu yang tak pernah dihinggapi keceriaan, kebahagiaan, kebanggaan terhadap apa saja selama bernapas di dunia fana . Kusadari kemati annya g a ra - gara ke hadiran ku di alam semesta ini  serba tipu a n mata mengasyikkan, dan aku tak sempat menyaksikan dunia Ibu j adi senyum kemenangannya, kecu a li tubuhnya yang ditiduri oleh beribu-ribu lel a ki penjaja cinta dan kepuasan. Oh, Ibu... ! B a hkan aku berjanji pada tubuh ini untuk hidup semestinya tanpa harus membiarkan penderitaan berlaut dalam kepedihan. Aku tahu dengan bahasa kehidupan, dan aku masih belum mampu membawa diri pada sebuah ketentraman dan kedamaian, sementara perjuangan s