Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Novel

Sungai Darah Naluri (42)

Novel: Yant Kaiy “ Ayah... ” Suara teriakan dari kamarku, walau tak terlalu ke r as pada malam kelima puluh tujuh kematian istriku. Ah, aku cepat tersadar akan anak lelakiku yang tidur seorang diri, tanpa teman. Buru - buru kutinggalkan meja mesin ketikku, terpaksa. Padahal aku lagi asyik menulis karya fiksi masih belum selesai yang rencananya akan kukirimkan ke media massa cetak besok . Yah, aku hidup bersama istri dan anakku dari peluh dunia s astra. Dunia sarat derita, banjir sengsara… Entah sampai kapan aku harus bertahan di indahnya in s pirasi yang mengembara sepanjang waktu, bergulir l... “ Ayah... ”   P anggilan kedua kalinya dari anakku, iramanya kutangkap pilu, lantas aku terbawa pada belai kasih sayang sangat dibutuhkannya seusia anakku. Ia seolah aku masa lampau dari dunia tanpa perhatian dari seorang lelaki, penyebab aku lahir ke alam fana ini " Sebentar sayang, a yah ada di sini, ” sahutku menenangkan kekalutannya sebisa angin berhembus tenang . K

Sungai Darah Naluri (41)

Novel: Yant Kaiy Seperti orang buta kehilangan tongkatnya. Atau orang tidak tahu arah kehilangan kompas kesayangannya. Semua akan amburadul. Semua orang sepakat, sedia payung sebelum hujan akan memudahkan hijrah ke tempat lebih baik dari sebelumnya. Tapi lupa adalah penyakit takkan pernah hilang dari sungai ingatan, mengalir ke sekujur lereng bukit keinginan tak berpantai. Aku terbungkuk diantara kekalutan. Terbakar api derita. Mengapa harus kubiarkan sengketa hati...? Terdampar mengurung sesal. Aku menyayanginya lebih dari apa pun. Tapi usia manusia tiada siapa yang tahu. Rahasia Ilahi. Dari pagi yang melegakan pernafasan akan alam terbuka lebih luas ruanggeraknya. Ada tetes - tetes embun kebersemangatan di ranting renungan nasib selanjutnya. Tak kalah menariknya dari sebuah teriakan mogok kerja yang tumpah di halaman hijau. Bagai semut yang mengeru m uni sepotong gula. Aku tak dapat mengatakan bahwa jalan yang kami kembangkan merupakan suara bulat menjurus pada

Sungai Darah Naluri (40)

Novel: Yant Kaiy S emestinya mereka menyuarakannya dengan tekad dan semangatmenggebu, kendati harus melewati onak peng uasa yang siap dengan senjata serta a tributnya yang senantiasa siaga akan semua gerak mencurigakan. Tidak kalah menarik akan semua teman sekerjaku yang hanya menangis batin, selebihnya menggerutu tanpa kendali lagi . Andai saja kebersamaan tidak terhesut isu j ami nan kepalsuan nan munafik, tentu mereka mau melakukan yang terbaik seperti a pi dalam sekam; mengatur sedemikian rupa serangan ampuh tanpa batas, berkhasiat demi cinta terhadap keluarga. Namun kesempatan hampir tenggelam diantara ombak musim berdebur. M emperbaiki situasi dan kondisi kronis akibat kualitas dan kuantita s menurun oleh hant a man topan kebutuhan sehari - hari. Semuanya ingin berkembang sesuai usia kian keriput , tak molek lagi. Seperti orang bijak bilang, perjalanan hidup di dunia   penuh dengan derita, sengsara... K ini orang-orang tercinta me ninggalkan aku pada saat kebimbang

Sungai Darah Naluri (39)

Novel: Yant Kaiy Sangat a ku akui memang, selama aku bergelut di dunia baru tak pernah membangkitkan gairah dunia masa lalu yang kuselami sampai ke dasarnya. Aku terus di bentur oleh beraneka tuntutan hidup , senantiasa mengan g a lebar , menadah air hujan jatuh pada ladang kemarau naluriku ha m pir terdampar di antara emosi diri berhalusinasi. Mengambang akhirnya dalam keletihan tak pernah berhenti mengguncang sukma , kecuali hati kecil ini tak mungkin aku pungk iri sepanjang perjuangan... Bah, mengapa aku terperosok pada pengertian amat ironis. Kedengarannya lagu lama memang, seharusnya aku tak berada pada posisi sungguh sulit untuk dibaca oleh banyak mata api di bawah rindang dedau nan hati nurani. Benarkah itu semua adalah sebagian nafeu yang tercecer pada sebagian buruh pemalas? Datang lalu pergi selembar raga nasionalistis obyektif dan akurat pada waktu silih- berganti, tak pernah menghiraukan akan kebingungan pengabdian nan tersisa, terpotong oleh pelangi sangat r

Sungai Darah Naluri (38)

Novel: Yant Kaiy Tapi bagiku teramat penting lantaran budaya hidup tidak sebatas urusan finansial belaka. Apa yang akan dibeli kalau barangnya tidak ada di pasaran. Apa yang akan dimakan kalau alam tidak lagi menyediakannya. Jadi tidak ada artinya lagi uang. Bagus   :Kau jangan terlalu kolot, Bar...! Sebar    :(Tersinggung) Mana bisa aku menentukan, juga kau !!! Bagus    : Ini tradisi... tahu l... Sabar     :Apakah hal ini bukan i s u, Gu s ??? (Bimbang) Bagus    :Lhooooo, seringkali kau aneh... Kapan kau mau maju ?11! Sabar     : Bagaimana dengan sikap Luka ?? Bagus     : la malah s earah dengan tuntutan yang wajar, Bar... Mereka merencanakan mogok kerja di sepanjang detik, mengeruk perhatian terhadap sungai darah emosi sebagai buruh, sebagai bawahan semestinya tunduk mengikuti perkembangan situasi .   A ku sebagai orang baru di dunia penuh kepalsuan, kebohongan, kelicikan, bahkan tak lebih dari sebuah cambuk penindasan, maka dari itu aku harus juga menyadari

Sungai Darah Naluri (37)

Novel: Yant Kaiy K ubersandar pada jiwa yang mungkin dapat dibenahi lagi. Walau a ku memang tidak terlalu yakin. Walau kadang kemungkinan ternatal di antara kejenuhan itu sendiri. Di sinilah kupertaruhkan bermacam bakat terpendam selama bertahun - tahun kusiram dengan kesejukan alam pegunungan menghijau pada pandang mata . Adalah sahabat lama: Sabar, Bagus, dan Luka telah banyak memberikan perhatian sungguh mulia bagiku , tak mengenal perjalanan persaingan di tengah kebisingan waktu acapkali membelenggu harapan diantara banyak pilihan . Mereka terasa menyatu di nuansa langkahku dirasanya lamban memuntahkan lahar kejutan di dunia bisnis. Kebersamaan kami ternyata kesatuan tak mungkin dipisahkan oleh kemarau divide et empera sepanjang perjalanan terpotret oleh banyak pengacau. Sifat lunak terhadap sesama tak mungkin terbuang, terlempar, terkapar, lalu terbakar oleh naluri hitam tak berperasaan. Di sudut ruangan terasa baru , hampa semuanya, kupacu lan g kah diri terus m

Sungai Darah Naluri (36)

Novel: Yant Kaiy Suatu ketika di kantin, tempat dimana para karyawan mengisi perut dan bercengkerama dalam suasana kurang peduli terhadap sesama. Semua sibuk memilih-memilah apa yang dikehendaki. “Apa kau takut?” “Untuk siapa? Semua takkan lepas dari bidikan gelora hati orang lain. Kebenaran seringkali memang menyakitkan. Tapi kita harus ikhtiar menyibaknya, sekuat tenaga tanpa kenal lelah.” “Wajar kau lelaki.” “Apa bedanya?” “Persamaannya sebagai makhluk bernyawa. Tapi perempuan tentu lebih lembut. Pria mesti perkasa.” “Mencintai diri sendiri bukan dari wajah diperbaiki. Tidak cukup. Kebersihan hati modal utama kau meniti perjalanan usia. Aku tak punya waktu mengguruimu. Ilmu pengetahuanmu lebih dari apa yang aku miliki.” Ia tersenyum lebar ketika kami berpisah, meleburkan rencana selanjutnya karena jam pulang belum berdentang. Sekali lagi aku mengimla musim di semesta naluri. Tumbuhlah di sekitarku iri yang tak mungkin kumusnahkan dengan cairan racun yang di tuan

Sungai Darah Naluri (35)

Novel: Yant Kaiy Tak mungkin aku ber p ikir lebih dari dua kali karena hal yang semacam ini justru mengganggu aliran sungai kebulat a n hati, kalau sudah demikian yang pasti akan terurai ben a ng - benang keresahan membuncah, padahal aku harus menyatu dengan berbagai tugas yang sudah menanti. Aku butuh tempat berlindung dalam mengembang kan diri. Namun masih dapat kulihat peluang yang agak lebih luas dari daun kelor. Kubersyukur dapat dipertemukan dengan kenyataan yang tidak mungkin kutolak kehadirannya walaupun aku harus mengorbankan sesuatu teramat berharga yang terdapat pada diri ini. Oh... Berbagai cara dan etika dari tugas yang harus kuhadapi sudah siap meng h adang liku perjuangan yang sesungguhnya. Bila pagi menjelang. Udara segar memberiku spirit dalam menyelesaikan berbagai halaman tugas kantor swasta, semuanya dipasrahkan terhadapku. Sebagai bawahan yang yunior masih dalam berkembang dalam karier, dan sesuatunya masih berjalan dengan dibantu oleh arah mata angin yang mem