Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Berakit ke Hulu, Berenang ke Tepian

Cerita Anak: Yant Kaiy Hari masih pagi., sang surya baru menampakkan sinarnya. Seekor belalang kecil dan semut sedang asyik bermain. Mereka lahir di negeri Eropa, keduanya tepat lahir di saat musim semi. Kendati perbedaan badannya lebih besar belalang, namun keduanya tetap rukun, selalu bermain bersama sepanjang hari. Tidak memikirkan hal lain selain bermain dan bernyanyi di padang rumput. Suatu hari yang cerah, kakek semut sedang berjalan-jalan dan bertemu dengan keduanya yang sedang asyik bermain. ”Hari ini cuaca memung cerah, cucuku,“ katanya terbata bata. “Matahari bersinar cemerlang. Musim panas seperti ini memang sangat baik untuk bermain namun jangan lupa. sebentar lagi musim gugur akan segera tiba, dan kita semua harus bekerja. lngatlah selalu. Ada waktu untuk bermain dan ada waktu pula untuk bekerja,” laniutnya sambil meninggalkan keduanya. “Terima kasih,Kek. Apabila musim gugur telah tiba saya akan segera bekerja. Sekarang biarkan kami untuk bermain-main,

Selamat Jalan, Tina…

Cerpen: Yant Kaiy Langit tersaput mendung. Awan hitam berarak ke selatan. Gerimis mulai bertaburan indah. Seindah wajah Tina pagi ini. la adalah siswi paling populer di SMA-ku. Juga sebagai foto model di kotaku. Orangnya memang cantik. Matanya bulat tetapi tidak memberi kesan galak. Alis matanya hitam melintang. Bibirnya merah merekah seolah selalu tersenyum. Rambutnya legam tergerai, dipotong sedikit ke atas bahu dan ada poni menjuntai yang dihiasi bando warna merah. Aku tak tahu istilah apa untuk model rambut seperti itu. Namun yang aku tahu untuk potongan potongan seperti itu sekarang lagi “in”. Deg. Degup jantungku melecut. manakala pandangan kami bersirobok. Sepasang mata indah itu sekilas menyapuku. Namun, cepat-cepat ia menundukkan muka ketika aku tersenyum sinis padanya. Ya, sikapku terhadap Tina memang kubuat demikian lantaran ia teman sekelasku sekaligus musuh bebuyutan. Sekilas kulihat ada rona semburat di wajahnya dan sedikit gelagapan atas pandangan

Sepatuku Melayang

Cerita Humor: Yant Kaiy Kwjadian ini kualami sekitar setahun yang lalu. Tatkala si "Leher Beton", Mike Tyson dipukul 'KO' oleh James "Buster" Douglas di Tokyo (Rabu, 28 Februari 1990). Saat itu aku menghadiri malam resepsi pernikahan kakakku yang sulung di Sumenep. Padatnya acara ditambah banyaknya pekerjaan kasar di resepsi itu membuatku tidak tidur semalam suntuk. Pagi harinya, aku pamitan untuk pulang. Lantaran hari itu ada ulangan Fisika di sekolah. Aku pulang naik bus jurusan Sumenep-Kamal. Aku mengambil tempat duduk paling depan dekat pintu masuk. Penumpang saat itu sedikit, namun setelah beberapa saat lamanya berjalan, bus pun jadi penuh. Dalam situasi mengantuk akhirnya aku tertidur. Terlebih buaian angi semilir seperti membiusku. Ditengah keterlenaanku, aku terbangun. Kaget. Seorang kondektur membangunkan. Minta ongkos. "Mas bayar dulu, baru tidurl", katanya. Aku bingung. Mengucek-ngucekmata. Tingkahku membuat si k

Sabun dari Hotel

Cerpen: L Surajiya Istriku marah-marah dan cemburu. Persoalannya sederhana. Istriku hanya menemukan sabun di tas pakaianku, sehabis pulang dari mengisi workshop batik di luar kota. Seperti biasa, saat workshop, aku hanya menerangkan langkah-langkah proses membatik. Mulai dari persiapan bahan dan alat,  membuat desain, memindah pola ke bidang kain, mencanting, mewarnai tehnik celup, sampai nglorot, langkah terakhir. Tetapi jika waktunya pendek dan tidak cukup untuk proses di atas, kadang hanya praktek sederhana. Tidak perlu membuat desain dalam kertas, melainkan langsung di kain, dicanting, diwarnai -bisa celup atau pewarna remasol-, dilorot, dan kadang hanya dengan satu warna, yang terpenting adalah para peserta tahu dan memahami betul tentang bahan dan alat, cara menggunakannya dari awal sampai hasil akhir. Biasanya hanya membuat sapu tangan atau syal, jikalau memang ada keterbatasan waktu. Harapannya, sehabis pelatihan bisa dipraktekkan sendiri.              Aku mengisi a

Senja Tak Berbekas

Cerpen: Akhmad Jasimul Ahyak Kembali aku diam, namun aku mendengar, aku melihat, dan aku menyimpan di tempat yang paling dalam tentang rindu pada seorang perempuan yang dulu aku kenal. Sedikit berbicara tentang kekasih, dulu waktu saya masih sekolah SMA memiliki pacar, namanya Supriyati, dan aku sering memanggilnya Pri, awal kita menjalin hubungannya sejak aku masih SMA kelas X, sedang mereka masih SMP kelas IX . dia adalah anak seorang pejabat Perhutani, dan kebetulan dinas di daerah tempat tinggal saya, kekasihku Pri sangat baik dan sederhana, sedikit kelihatannya agak nakal, tapi dia berbakti sama kedua orang tuanya sehingga aku membuat jatuh hati kepadanya, tubuhnya tinggi, rambutnya tidak begitu panjang, namun bola matanya yang sayu sendu bagai sinar bulan yang sedikit tertutup awan malam. Mengingat tentang sedikit cerita kenapa saya dan Pri tidak terjadi jodoh, dan tidak bersama lagi. Selama menjalin hubungan kurang lebih 2 tahun, ada banyak hal bahagia dan sedih

Dibalik Masker Tercium Bau Busuk

 Cerpen: Akhmad Jasimul Ahyak Selembar cinta perempuan tua kini kian mengusang, dia adalah nenek Sumenten yang hidup kesendirian hanya bersama setumpuk sampah di sudut ruang jalanan yang mengabu. Pagi ini rembulan tinggal separuh. Wajah si nenek tua mulai terlihat kusam dengan kotoran debu yang menyapu keriput kulit tuannya. Ia duduk di bawah ranting pepohonan yang jadikan ia rumah untuk berteduh, hanya dari sampah dan barang bekas yang terbuang di pinggiran kota ia mengatur hidupnya. Sekejap ia melihat hasil barang bekas yang dikumpulkan dan masih belum banyak untuk dijual, kembali si nenek menghirup aroma pagi dalam-dalam sambil mempersiapkan karung tempat barang bekas yang sudah ia dapat nantinya. Mereka masih termangu, berdiri sambil melihat matahari yang mulai agak meninggi. Nenek pun siap-siap mau pergi ingin mencari nafkah demi sesuap nasi. Ia berjalan dengan kantong yang ia gantungkan di pundaknya, lalu kembali menyusuri jalanan tanpa beralaskan kaki. De

Juniku Memerah

Cerpen: Akhmad Jasimul Ahyak Esok pagi, salam menitip senyum pada dedaunan yang basah, kucoba mencuri ingatan di keheningan jelaga yang tumpah di ujung lelah. Terlintas bayang senyum si Junita seperti menyapa dikala aku merebah di pembaringan yang resah. Aku pun bergegas membuka jendela kamar dan terlihat tentang pagi yang indah, fajar pun menyinari di pangkuan semesta yang tak pernah salah.  Kutengok sejenak ke luar jendela sebelum bertatap dengan layar ponsel, di mana tanah gersang sedang tertutupi peluh yang sedang kedinginan. Kini aku teringat pada kekasih yang dulu pernah menitip senyum pada kecupan matahari hingga menyentuh bibir kaca jendelaku. Kini aku teringat kembali pada lembaran yang telah usang, di mana kekasih “Junita” saban pagi, sebelum berangkat kerja dia selalu mengajak ke sawah mengantar suatu hidangan buat makan ayahnya yang lagi sibuk bekerja di kebunnya sendiri, kadang aku membantu pekerjaan ayahnya. Kala malam begitu gelap, kadang pikira

Kabut di Atas Tamansari

Cerpen: Herry Santoso *)        Banowati menghela napas dalam-dalam. Sesekali ia duduk di sofa  gazebo Tamansari, lalu berdiri lagi, duduk lagi, seraya beranjak ke jendela mengamati senja yang mulai turun di atas kotaraja. Ada bianglala jatuh di kolam pasiraman semburat sinarnya pecah membias di pucuk-pucuk flamboyan membarengi rasa rindunya yang menyayat perih pada Harjuna sang kekasih.       Padahal sebenarnya Banowati sadar bahwa ia bukan seorang gadis lagi. Ia seorang permaisuri dari seorang raja diraja di negeri yang besar, negara super power Hastinapura. Tetapi Banowati seolah berpaling dari kenyataan itu, ia telah membohongi hatinya sendiri. Raganya di Hastina, sedangkan jiwanya di Madukara tempat Harjuna berada.       "Mengapa Gusti Ayu tampak galau, adakah yang bisa hamba haturkan ?" suara pembantunya memutus lamunan sang dewi yang mengembara.       " Eh, Biyung emban...." Banowati tergagap. Bibir yang sejak tadi terkatup rapat itu pun bergerak m

Perempuan Bermasker di Cafe Stasiun Kota

Get Google Cerpen: Herry Santoso *) MALAM  berembun. Rembulan redup membias di wajah kota. Jalanan sepi. Tak pernah kusangka isu Covid 19 sempat membuat kotaku semakin dincekam ketakutan, karena orang-orang lebih dibayangi over fobia ketimbang realita. Buktinya, hanya ada beberapa gelintir manusia di cafe tempatku ngopi saat ini, tidak seperti biasanya selalu semarak  menikmati musik jazz akhir pekan di cafe legendaris ini.      Sungguhpun demikian, aku merasa betah duduk sendirian lantaran perempuan bermasker yang duduk berseberangan dengan kursiku itu benar-benar membuatku penasaran sedari tadi.      "Maaf, nama Anda siapa ?" pertanyaanku tak dapat kutahan di antara kepenasaranku sejak tadi. Ia menghentikan permainan game ponselnya, serta-merta mata di balik masker itu menatap lurus ke arahku.       "Suha, Suha Safira, Bapak..."       "Suha Safira ?"       "Iya, Bapak "       "Nama yang luar biasa. Karena istri Yasser